25.11.22

M. Quraish Shihab: Bagaimana Poligami Dalam Islam?

Poligami merupakan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu sampai empat orang. Dalam pandangan Islam poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat yang sudah jelas dalam Al-Quran, yaitu mampu berlaku adil.

Menurut Quraish Shihab poligami mempunyai arti definisi yang berbeda-beda pada setiap orang, ada beberapa pemahaman yang perlu digaris dibawahi mengenai poligami, yaitu: Yang pertama, Islam bukan satu-satunya agama yang membenarkan poligami, Nabi Muhammad SAW, bukan satu-satunya nabi yang berpoligami, bahkan sebelum beliau Nabi-nabi yang lain pun berpoligami.

Yang kedua, Hukum dasar poligami itu bukan wajib juga bukan anjuran, Nabi berpoligami itu adalah kasus-kasus, adalah hal- hal tertentu yang berkaitan dengan dakwah beliau. Yang ketiga, Dibenarkannya poligami itu berkaitan dengan kondisi yang dihadapi oleh orang-perorang yang bisa jadi ketika itu ia sangat membutuhkan untuk berpoligami. Contoh, Ada seorang istrinya sakit dan tidak bisa berfungsi dengan baik dalam konteks kehidupan suami dan istri, apakah suami tersebut harus pergi menyalurkan? (berzina). Ini kasus, sehingga diperbolehkan.

Karena itu, ketika Al-Qur’an, dan Nabi SAW membenarkan poligami, jangan serta merta berkata bahwa Nabi berpoligami maka saya pun akan melakukannya, harus dilihat kondisinya terlebih dahulu. Dari sini digaris bawahi oleh Al-Quran bahwa harus ada rasa keadilan yang dirasakan oleh suami dan istri.

Al-Quran juga menggaris bawahi bahwa suami dan istri itu harus terjalin antar mereka Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (rasa kasih). Seorang suami yang memiliki rasa kasih tidak akan berpoligami. Sebaliknya, seorang istri yang suaminya membutuhkan untuk berpoligami, rasa kasihnya yang mengizinkannya untuk berpoligami.

Menurut Quraish Shihab, “Poligami adalah pintu darurat dalam pesawat, tidak boleh ada yang duduk di pintu darurat, kecuali orang yang mampu membuka pintu, tidak boleh dibuka pintu itu tanpa izin pilot, itulah poligami, dan tidak boleh juga pintu darurat itu ditutup mati.”

Menurut Quraish Shihab, “Poligami adalah pintu darurat dalam pesawat, tidak boleh ada yang duduk di pintu darurat, kecuali orang yang mampu membuka pintu, tidak boleh dibuka pintu itu tanpa izin pilot, itulah poligami, dan tidak boleh juga pintu darurat itu ditutup mati.”

Dalam hal ini dijelaskan bahwa seorang yang ingin berpoligami harus orang yang mampu, tapi jika mampu dan tidak mempunyai izin suami atau istri tidak diperbolehkan untuk melakukan poligami, yang dimaksud kata mampu disini adalah mampu membelanjai dua orang istri secara adil, dan mampu berlaku adil yang bukan keadilan dalam cinta, tetapi hal- hal yang bersifat material.

Namun, menurut saya poligami Rasulullah berbeda dengan poligami yang kita lihat sekarang ini. Praktek poligami Rasulullah di sini bukan berlandaskan kebutuhan biologis, tetapi ada beberapa pertimbangan diantaranya ingin memberi kehormatan untuk janda, mengangkat derajat para janda dan wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi. Dalam masa sekarang poligami hanya berlandaskan kebutuhan biologis, dan melupakan unsur keadilan di dalamnya.



Dengan ini banyak ulama tidak setuju menjadikan poligaminya Nabi sebagai alasan untuk meneladani Nabi sehingga ikut berpoligami. Alasan itu sangat-sangat dangkal. Jika memang mau meneladani Nabi, banyak hal lain yang tanpa menyakiti hati orang. 

Iya kan?

*) Artikel M. Quraish Shihab: Bagaimana Poligami dalam Islam? pertama kali tampil pada GEOTIMES.


SABDA PERUBAHAN

Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran dengan alasan bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua-dua,tiga-tiga, atau empat-empat, baru kemudian perintah bermonogami kalau khawatir tidak dapat berlaku adil. Kita tidak dapat menerima pandangan tersebut dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat maupun konteksnya, dan juga dari segi kenyataan sosiologis yang di dalamnya perbandingan perempuan dan lelaki tidak mencapai empat banding satu, bahkan dua banding satu. 

Tidak semua yang wajib dan terlarang bagi Rasul SAW, wajib atau terlarang juga bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau ketika tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya? Kita tidak dapat membenarkan siapa yang bekata bahwa poligami adalah anjuran dengan alasan bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua-dua,tiga-ti ga, atau empat-empat, baru kemudian perintah bermonogami kalau khawatir tidak dapat berlaku adil. Kita tidak dapat menerima pandangan tersebut dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat maupun konteksnya, dan juga dari segi kenyataan sosiologis yang di dalamnya perbandingan perempuan dan lelaki tidak mencapai empat banding satu, bahkan dua banding satu. Tidak semua yang wajib dan terlarang bagi Rasul SAW, wajib atau terlarang juga bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antara lain wajib bangun ahalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau ketika tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya?

Selanjutnya, wajar dipertanyakan kepada mereka yang menyebut dalih itu. "Apakah mereka benar-benar ingin meneladani Rasul SAW dalam pernikahannya?" 

Kalau benar demikian, perlu mereka sadari bahwa Rasul SAW baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya istri beliau, Khadijah RA. Kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW menikah di usia 25 tahun. Lima belas tahun setelah pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini meninggal pada tahun ke-9 kenabian. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Lalu, setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Khadijah RA, beliau baru menggauli Aisyah RA, yakni pada tahun kedua atau ketiga hijriyah, sedangkan beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau---baik dihitung berdasarkan pada masa kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau. 

Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? 

*) Disarikan dari buku Perempuan karya KH. M. Quraish Shihab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar